Senin, 22 Agustus 2016

Perlunya Pemerintah dan Masyarakat Kuantan Singingi Bersinergi dalam Menjadikan Pacu Jalur sebagai Tujuan Pariwisata Budaya


oleh : Pispian Rahman, S.Sn

A. Pacu Jalur Sebagai Potensi Pariwisata budaya
Pacu Jalur merupakan budaya yang masih berlanjut di tengah kehidupan masyarakat yang dalam satu dasawarsa terakhir berkembang pesat dengan antusias yang tinggi tidak hanya bagi penduduk yang ada di dalam tetapi juga di luar daerah Kabupaten Kuantan Singingi. Pacu Jalur sudah menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang event besarnya dilaksanakan selama empat hari di Tepian Narosa Teluk Kuantan pada bulan Agustus setiap tahunnya, rangkaian kegiatan pacu jalur ini di awali dengan dilaksakannya event Pacu Jalur Rayon I, II, III, dan IV di Kecamatan yang ditetapkan pemerintah secara bergiliran, selain itu di beberapa kecamatan sebelum event rayon ini, juga tak jarang dilaksanakan pacu jalur uji coba, dalam ajang ini biasanya banyak diikuti oleh jalur yang ada di kecamatan tersebut, selain itu penyelenggaran ajang uji coba ini pun dibiayai oleh dana swadaya masyarakat atau donatur, pemuka masyarakat serta Perangkat Adat Kenegerian tempatan itu sendiri, sehingga menyatakan bahwa budaya pacu jalur di aliran sungai Kuantan sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat kabupaten Kuantan Singingi secara turun temurun adalah hal yang tak bisa dibantah lagi.

Mencermati bagaimana proses pembuatan sebuah kayu jalur, melayur jalur, melatih fisik pendayung, hingga turun ke gelanggang perpacuan, semua di lalui dengan motivasi pengorbanan waktu, tenaga dan biaya yang juga tidak sedikit, semua dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan ekonomi (mata pencaharian), meskipun pemenang pada setiap event akan mendapatkan hadiah dari penyelenggara Festival Pacu Jalur (FPJ), namun hal terebut itu tidak bisa di pandang setimpal dengan yang telah dikorbankan oleh masyarakat yang ikut berpartisipasi demi pembuatan Jalur,  rangkaian proses tersebut dilakukan demi warisan leluhur, eksistensi budaya, yang di balut dalam kegembiraan nilai-nilai kebersamaan, saling menopang, saling membantu, saling bergotong royong demi kebanggaan atas jati diri kampung, tempat hidup serta tanah kelahiran, bagaimana tidak prestasi jalur mengisyaratkan sebuah negeri tersebut telah mengerti makna berangkulan, bahu membahu dalam kata mufakat, semua meluangkan waktu, yang tua memberi sokongan, yang muda menyanggupi, yang kaya membantu, yang kuat memberi tenaga, yang cerdik mengatur rencana atau menyumbang pemikiran, semua itu tersusun penuh dalam nilai-nilai kearifan lokal yang bermuara pada kecintaan terhadap budaya pacu jalur. keadaan inilah yang harusnya terus tumbuh dan berkembang sesuai kaidahnya, nilai kearifan lokal dalam semangat membuat jalur, mendayung jalur yang sarat dengan kebersamaan, nilai-nilai inilah perlu di awasi, jangan sampai sentuhan kapitalisasi budaya yang tujuannya mensejahterakan masyarakat tapi  justru mempertajam ketimpangan ekonomi karena hanya dinikmati dan dikelola segelintir golongan saja.

Sebagai sebuah kehidupan masyarakat yang berbudaya juga tidak bisa di pungkiri, bahwa semua peningkatan dan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat pendukung budaya akan menjadi tantangan yang harus di hadapi dan selalu diupayakan, dalam pengelolaan, ruang dan porsi yang tepat agar tidak salah arah ketika harus menggandeng pihak swasta atau kemandirian usaha dalam bentuk komersialisasi budaya  yang justru dapat mengikis nilai moral atau kearifan lokal itu sendiri.

Menurut James J. Spillane (2003) bahwa produk pariwisata budaya memiliki segmen pasar khusus yaitu para ”knowledge workers” atau dalam istilah kepariwisataan disebut ”mature tourist” atau wisatawan yang berpengalaman dimana mereka melakukan perjalanan atau kunjungan ke kawasan lain dengan tujuan tidak hanya bersifat recreational tetapi lebih bermotivasi untuk menimba pengalaman melalui keterlibatan langsung dengan aktivitas kehidupan dan tradisi serta budaya masyarakat lokal. Segmen wisatawan tersebut terdiri para lanjut usia atau pensiunan (retired) yang pada umumnya merupakan kelompok menengah ke atas dan berpendidikan yang mempunyai waktu luang untuk bepergian.

Pacu Jalur sebagai sebuah budaya yang bersifat tangibel atau konkret, bersifat living culture (budaya yang masih berlanjut) dan cultural heritage (warisan budaya masa lalu), dengan berbagai keunikannya memiliki daya tarik utama untuk menarik kunjungan wisatawan, perlu dikelola bersama pemerintah, pihak swasta, masyarakat pendukung, komunitas seni dan budaya, sebagai sebuah bentuk "Pariwisata Budaya" yang tetap dalam keberlanjutan, namun mampu pula sebagai salah satu jalan baru menuju kemakmuran negeri.
Guna memahami lebih jauh, dan bagaimana harusnya peran pemerintah dapat bersinerji dengan peran masyarakat sebagai pemilik kebudayaan dalam upaya menjadikan pariwisata budaya pacu jalur sebagai ikon utama pariwisata riau yang sustainable dan menjadi bagian yang memiliki  eksistensi dalam dunia pariwisata nusantara dan bagi wisatawan manca negara kedepan, sebagai sebuah hasil cipta, karya dan karsa masyarakat daerah aliran sungai yang dapat di perhitungkan.

Rumusan masalah inilah kemudian, menurut penulis menarik untuk ditinjau kembali dari berbagai literatur tentang pariwisata budaya untuk diulas agar dapat memberikan masukan, semangat sehingga memiliki persepsi yang sama bagi pembaca khususnya pihak terkait di Kabupaten Kuantan Singingi dalam rangka kemajuan pengelolaan dan perkembangan budaya Pacu Jalur sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) dalam bentuk Pariwisata Budaya.

B. Peran Pemerintah dalam Pariwisata Budaya

Pacu Jalur dapat dipandang sebagai event simbol utama yang dapat ditunjang berkembangnya oleh 12 unsur pariwisata budaya lainnya, dimana potensi kepariwisataan tersebut dapat menarik kedatangan wisatawan, antara lain:
1.  Bahasa (language).
2.  Adat Istiadat Masyarakat/kebiasaan (traditions).
3.  Kerajinan tangan (handicraft).
4.  Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits).
5.  Musik dan kesenian (art and music).
6.  Sejarah suatu tempat (history of the region)
7.  Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).
8.  Sistem Kepercayaan (religion)
9.  Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area).
10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).
11. Sistem pendidikan (educational system).
12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities).

Upaya mendatangkan wisatawan sebagai daya tarik perlu dilakukan dengan  terencana dan matang, secara sederhana orientasi pariwisata dapat dibagi pada beberapa indikator; (a) seberapa lama wisatawan dapat bertahan atau berada di sebuah kawasan wisata (b) seberapa besar tingkat konsumsi wisatawan (menggunakan uang) mereka dalam menikmati jasa wisata, produk wisata (kerajinan, masakan khas dan lain lain),  demi kebutuhan akan ketertarikan wisata, dan yang tak kalah penting adalah; (c) seberapa besar gelombang atau jumlah personal wisatawan domestik maupun asing mampu didatangkan, yang dalam perspektif ini tentunya tidak terlepas cara promosi atau kemudahan dan daya pikat informasi pariwisata budaya pacu jalur yang dapat mudah dan jelas untuk diakses dalam menawarkan layanan.

Dari tiga indikator tersebut, sangat berkaitan dengan bagaimana rute wisata dan kenyaman wisatawan dapat mendapat kenyamanan baik sarana prasarana penunjang yang ada, keamanan seperti akomodasi tempat tinggal, sistem transportasi, guide (pemandu) bagi agen travel wisata, potensi produk seni dan kerajinan, dan pengemasannya melalui program kampanye budaya yang dapat merangkul menarik minat untuk berekreasi sambil mencari pengalaman dengan potensi pariwisata budaya kita di sajikan.

Untuk itu peranan pemerintah dalam mendorong peningkatan hal tersebut mesti terlihat jelas dalam peran-peran yang nyata,  dapat berupa :
1.  Peranan Pemerintah dalam ekonomi pasar
Sistem ekonomi pasar adalah suatu sistem ekonomi dimana seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

2.  Pajak dalam pariwisata
Bergulirnya kebijakan tentang otonomi daerah yang diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004), dengan kewenangan yang diberikan pada pemerintahan daerah, potensi pariwisata harusnya dikelola sehingga dapat diandalkan sebagai unsur utama dalam PAD, berkenanan dengan   pelaksanaan pajak dalam pariwisata, antara lain:
a. Pajak atas produk pariwisata biasa dalam bentuk pajak dibebankan kepada konsumen yang bertindak sebagai wisatawan
b. Pajak dibebankan kepada pemakai jasa pariwisata.

3. Pengeluaran Pemerintah dalam pariwisata
pengeluaran ini mencakup penyelenggaraan event atau kegiatan budaya yang menarik serta penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang layak bagi wisatawan.

4. Pengawasan Pemerintah dalam pariwisata.
Pengawasan hal di atas guna mengontrol penyimpangan nilai budaya dan pengelolaan, lewat aturan dan mekanisme yang telah melalui proses kajian yang terus menerus di evaluasi oleh lembaga pemerintah terkait, tentunya dengan menampung masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan

C.  Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata
Menjadikan Kuantan Singingi sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) tentunya tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat tempatan sebagai pemilik budaya tersebut, karena budaya berdinamika melibatkan manusia sebagai pelaku dalam menciptakan ide, karya dan karsa hasil budaya yang di pertahankan secar turun-temurun, kemudian berkembang dinamis sejalan dengan perkembangan zaman dan paradigma masyarakat memahami budayanya. kita tentu berharap ide (sistem keyakinan, pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma), perilaku (peralatan hidup, arsitektur, pakaian, makanan olahan, hasil-hasil teknologi, dan lain-lain), dan materi (ritual perkawinan, upacara-upacara keagamaan atau kematian, seni pertunjukan, keterampilan membuat barang-barang kerajinan) ini tetap di lestarikan sebagai bahan mentah pariwisata budaya, apabila menjadikan pariwisata budaya sebagai pendapatan  ekonomi daerah.

Pembaca tentunya sepakat bahwa, pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya budaya. sehingga konsep kepariwisataan berbasis masyarakat menjadi prinsip dasar dalam mengimlementasikan pariwisata budaya Pacu Jalur sebagai ujung tombak pengenalan daya tarik adat, tradisi, dan kesenian yang ada di masyarakat. 

Pelibatan aktif masyarakat secara terbuka, duduk bersama mufakat baik unsur adat, penggiat seni, budayawan, dan ekonomi kreatif bisnis produk lokal, dengan dialog dengan umpan balik dari masyarakat, dengan kejujuran dan keterbukaan, pelibatan dari awal dengan melahirkan komitmen terhadap masyarakat. Manfaat yang dapat diambil dengan diberikannya kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya, maka mereka akan lebih bersemangat dalam mendukung upaya pengembangan pariwisata, dan pada akhirnya mereka akan dengan sukarela mendukung kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pariwisata, seperti membagi informasi tentang pariwisata di daerahnya dalam hal ini masyarakat Kuantan Singingi di manapun berada baik di perantauan, maupun yang bepergian karena sudah merasa bagian dari dirinya tanggung jawab bersama sebagai simbol jati diri, kebangggaan , dan sadar bahwa potensi ekonomi pariwisata berpengaruh terhadap kesejahteran kerabat di daerahnya, sehingga secara sukarela  terwujud dalam sikap dan tindakan pengenalan yang mungkin  di lakukan dengan memanfatkan semua kemampuan hubungan sosialnya di daerah lain.

Peran serta dengan melibatkan masyarkat dalam event pacu jalur dengan keterkaitanny dengan unsur budaya lainnya, yang secara berkeadilan agar terjadi konflik kepentingan, dan saling memahami dalam aturan kesefahaman bersama, sebagai contoh perwujudan pelibatan ini, masyarakat dilibatkan langsung dalam memberikan layanan tour/travel (penyedia jasa transportasi), memberikan ruang usaha perhotelan bagi pihak swasta, pengaturan dalam bentuk Tribun  jalur yang tak merusak keindahan mata, penyedian ruang seluasnya dan dikedepankan produk lokal yang mencirikan keunikan daerah, memberi ruang untuk komunitas seni dan kreatif untuk menciptakan pasarnya atau promosi kreatifitas sendiri, bahkan memberikan ruang bagi praktisi, akademisi untuk berdiskusi, menulis dan meneliti khasanah, maupun kritik budaya sebagai jembatan komunikasi pemahaman dari nilai-nilai kearifan lokal, sehingga muncul bentuk inovatif dari identitas kebudayaan daerah tetap bisa dipertahankan namun dapat diterima sejalan perkembangan zaman.

Diakhir tulisan tentunya kita dapat bersepakat sebagai langkah nyata awal yang dapat diupayakan adalah membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif  serta mitra yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat pendukung perlu di ciptakan, sekaligus tetap melakukan kajian-kajian kepariwisataan dan budaya yang masif pula layaknya sebagai gerakan bersama agar potensi pariwisata budaya Pacu Jalur menjadi corong potensi keunikan wisata lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menjadi solusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tetap mempertahankan kearifan lokal gagasan budaya kabupaten Kuantan Singingi.

Pekanbaru, 22 Agustus 2016.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pariwisata_berbasis_budaya.
https://anggorocahyadi.wordpress.com/2010/01/27/pengembangan-pariwisata-budaya-dan-tantangannya.
http://www.temukanpengertian.com/2014/01/pengertian-sistem-ekonomi-pasar-liberal.
https://emperordeva.wordpress.com/about/peranan-pemerintah-dalam-pariwisata.
http://wisatadanbudaya.blogspot.co.id/2010/03/pariwisata-budaya-dan-peran-serta.

Tidak ada komentar: