Jumat, 04 Juni 2010

Persiapan Pembuatan Album Melayu Kuantan Singingi







Kalau tidak aral melintang insyaallah manifesto studio bersama sanggar kadidi SMAN 2 Teluk kuantan akan kembali membuat album yang bernuansa Melayu dengan memuat nuansa tradisi kab. kuantan singingi

adapun yang akan terlibat dalam pembuatan album ini ialah :
1. kepala SMAN 2 teluk Kuantan Drs. Asrilman MM selaku pelindung
2. Pimpinan sanggar Alpion, S.Pd
3. Pimpinan manifesto Studio Pispian Rahman, S.Sn
4. seniman Kuantan singingi Kudri yang telah lama berkiprah di ajang seni daerah maupun nasional
5. Gina Andriliana, S.Pd sebagai Penata Rias dalam setiap kegiatan pembuatan klip maupun persiapan pertunjukan
6. Nurma Yunita sebagai penyanyi yang sudah banyak mendapatkan prestasi di kab.kuantan singingi, ia juga masih salah satu siswi SMAN 2 Teluk Kuantan
7. Penari di bantu oleh siswi dan siswa yang kratif.

album ini akan di beri tajuk Kuansing Melayu Creation
dengan materi lagunya :
1. Gadis Kuantan by Pispian R
2. Cinta Pandangan Pertama by Gina A
3. Joget Muda Mudi by Kudri
4. selembayung by Pispian Rahman
5. Penyejuk Jiwa by Kudri
6. Menanti Kasih by Pispian R
7. Luka Hatiku by Gina Andriliana
8. Cinta semata by Kudri
9. Joged Silat Pedang by Pispian Rahman

Album ini di rencanakan akan bisa di lempar kepasaran kuansing pada tahun 2010 ini

Seni pertunjukan sebagai Media Transformasi Budaya

Mengembangkan kebudayaan memang tidak begitu mudah, juga tidak begitu sulit untuk dilakukan artinya perlu perhatian yang serius dengan adanya langkah yang konkrit dan terprogram untuk mewujudkannya. Mengembangkan kebudayaan ini, dimulai melalui unsur kebudayaan itu sendiri seperti, Adat Istiadat, maupun Kesenian.
Adat Istiadat merupakan serangkaian norma, kaidah, ketentuan, peraturan, nilai yang tidak tertulis yang disertai dengan upacara-upacara, serta menjadi pedoman secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi selanjutnya yang diberlakukan dalam persukuan. Adanya pemberlakuan norma, dan aturan dalam adat secara turun temurun sangat bergantung pada proses tranformasi adat itu sendiri terhadap generasi penerusnya. Sehingga menciptakan lingkungan atau kondisi yang syarat akan informasi tentang kebudayaan (adat dan Kesenian ) Kuantan Singingi menjadi mutlak dilakukan.

Jumat, 26 Maret 2010

Opini Publik Membangun Citra Pemerintah

MAKASSAR,UPEKS-- Membangun citra pemerintah di masyarakat sangat penting. Pencitraan ini dapat didorong melalui pembentukan opini publik melalui pemberitaan media massa yang lebih konstruktif.
Direktur Departemen Komunikasi dan Informatika Direktorat Kelembagaan Komunikasi Pemerintah, Drs Subagio MS, saat ditemui disela-sela Seminar Pencitraan Pemerintah di Hotel Singgasana, Kamis (18/3), mengatakan, pencitraan kinerja pemerintah dapat diciptakan dengan prestasi.
Media dalam penyampaian pemberitaan tidak seharusnya hanya pada kasus negatif atau kenerja buruk pemerintah. Namun, juga mengangkat hasil pencapaian program kerja dan kegiatan positif lainnya.
"Terlebih saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang akan diterapkan secara umum pada 31 April mendatang. Tidak ada lagi informasi yang disembunyikan, malah instansi pemeritah harus menyediakan informasi tersebut kepada masyarakat melalui media," katanya.
"Kunci keberhasilan dalam merekayasa opini publik salah satunya adalah kerjasama dengan pihak media - media konvensional maupun media baru," kata Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, Dosen The London School of Public Relations Jakarta, yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar ini.
Untuk memudahkan perolehan informasi, akan dibentuk Pejabat Pengelola Informai dan Dokumentasi (PPID) disetiap instansi pemerintah, BUMN dan organisasi lainnya di tiap Kabupaten/kota. Penunjukan pejabat ini bergantung pada penunjukan langsung gubernur atau bupati setempat.
"Melalui PPID ini, semua informasi akan dikeluarkan dan disampaikan melalui satu pintu. Jadi, informasi ini mudah diperleh, dan masyarakat atau media tidak lagi harus dipimpong dimana-mana," ungkap Subagio.
1
MEMBANGUN DAN MEMANFAATKAN OPINI PUBLIK∗
Oleh Ashadi Siregar
( 1 )
Pembicaraan tentang opini publik tidak dapat dilepaskan dari konsep kebebasan
pers. Adapun kebebasan pers dalam suatu masyarakat negara merupakan dimensi hak
azasi manusia bagi warga. Ini memiliki dua wajah, di satu sisi terdiri atas pers bebas,
dan sisi lainnya kebebasan membentuk pendapat dalam kaitan kehidupan di ruang
publik (lihat Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia pasal 19 dan Kovenan Hak-hak
Sipil dan Politik pasal 19). Kebebasan pers diwujudkan dengan tersedianya informasi
secara bebas dan benar bagi warga masyarakat. Kegiatan ini menjadi penyangga bagi
terbangun dan terpeliharanya peradaban modern kehidupan manusia.
Alasan normatif tentang signifikansi kebebasan pers dalam kehidupan
masyarakat pada dasarnya berkaitan pada kehidupan warga masyarakat di ruang
publik. Disini kebebasan pers dapat diartikan di satu pihak sebagai hak warga negara
untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah publik, dan di pihak lainnya hak
warga dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression).
Karenanya kebebasan pers dilihat bukan semata-mata menyangkut keberadaan media
jurnalisme yang bebas, tetapi mencakup suatu mata rantai yang tidak boleh terputus
dalam proses demokrasi. Dengan demikan dasar pikiran mengapa warga harus dijamin
haknya untuk mengetahui masalah publik, dan mengapa pula warga harus dijamin
haknya untuk menyatakan pendapat, perlu ditempatkan dalam prinsip demokrasi yang
bertolak dari hak azasi manusia.
Mata rantai kerangka pemikiran itu dimulai dari proses untuk memiliki pikiran
dan pendapat tentang masalah publik. Dari sini warga masyarakat perlu mendapat
informasi yang bebas dan benar mengenai masalah tersebut. Masalah publik (public
issue) dapat diartikan secara sederhana sebagai fakta/kejadian dalam kehidupan
masyarakat yang bersentuhan dengan institusi di ruang publik, baik secara politik,
ekonomi maupun kultural. Informasi yang bebas dan benar mengandung pengertian
epistemologi mengenai prinsip kebebasan untuk memperolehnya, dan kebenaran yang
berasal kenyataan empiris, bukan “kebenaran” ideologis. Sedangkan pikiran dan
pendapat yang terbentuk sebagai respon terhadap masalah publik ini menjadi dasar
dalam kehidupan di ruang publik.
Dalam pada itu tidak semua fakta yang terdapat dalam masyarakat akan relevan
sebagai dasar pembentukan pendapat publik (public opinion). Karenanya dalam
operasi media jurnalisme, perlu didefinisikan secara jelas kriteria tentang fakta publik,
untuk dibedakan dengan fakta jenis lainnya. Sebagai ilustrasi, fakta personal dari
bintang sinetron sering dimaknai sebagai fakta publik, hanya karena jurnalis tidak
dapat membedakan antara selebritis dengan public figure sebagai person yang
keputusan dan perannya berkaitan dengan masalah publik.
Karenanya perlu dipahami bahwa hanya fakta publik yang relevan sebagai
dasar pembentukan pendapat publik. Pendapat publik dapat diartikan sebagai respon
pro dan kontra warga masyarakat terhadap masalah publik yang bersifat aktual. Dari
posisi yang bersifat pro – kontra ini maka suatu isu dipandang bersifat kontroversial.
Karenanya warga masyarakat yang terbiasa dalam keseragaman tidak siap untuk
∗ Pokok pikiran disampaikan pada Apresiasi dan Opini Masyarakat di lingkungan Pemda Sleman, Sleman 9
Januari 2002
2
menghadapi kontroversi. Padahal kontroversi dalam kehidupan publik inilah sebagai
dasar bagi terbentuknya secara rasional pendapat publik.
Dinamika dari sikap dan pendapat bersifat pro dan kontra sebagai proses
kehidupan publik, diikuti dengan proses negosiasi sosial sampai akhirnya tiba pada
titik konsensus sosial. Proses ini diharapkan berlangsung dalam dialog sosial yang
bersifat sosiologis, bukan atas dasar pemaksaan (coercion) oleh kekuasaan, sehingga
konsensus sosial dapat diterima secara rasional. Disinilah media jurnalisme mengambil
tempat sebagai zona netral dalam proses interaksi sosial sehingga tercapai konsensus
sosial. Konsensus sosial pada dasarnya penerimaan atas dasas akal sehat (common
sense) dan rasionalitas atas posisi suatu isu publik. Inilah kemudian yang menjadi dasar
bagi kebijakan publik/negara (public policy), baik berupa keputusan maupun tindakantindakan
pejabat publik dalam melayani warga masyarakat, yang diterima atas basis
akal sehat dan rasionalitas pula.
Kebebasan pers dapat diimplementasikan mencakup rangkaian proses
dari kehidupan warga masyarakat yang dikenal sebagai fakta publik (public
fact), kemudian menjadi masalah publik (public issue) yang disiarkan sebagai
informasi jurnalisme oleh media pers, untuk menjadi sumber atau landasan
dalam proses pembentukan pendapat publik, lebih jauh sebagai dasar dari
kebijakan publik dalam memberikan pelayanan publik (public service). Muara
dari seluruh proses ini adalah pelayanan dan akuntabilitas publik (public
accountability) sebagai ciri dari birokrasi publik (pemerintahan) yang menjadi
dasar kehidupan negara (polity) dalam norma demokrasi.
( 2 )
Opini publik selamanya bersifat laten. Hanya dengan metode jajak pendapat (public
opinion polling) suatu opini dalam masyarakat akan menjadi manifes. Jajak pendapat
khalayak dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang sikap dan orientasi khalayak
terhadap masalah tertentu, yang diwujudkan secara eksplisit dalam pendapatnya.
Pengukuran pendapat khalayak biasanya dilaksanakan oleh lembaga survai yang memang
secara khusus mendeteksi secara berkala pendapat khalayak, atau oleh suratkabar yang
ingin memberitakan konstelasi masyarakat pada masa tertentu dalam menghadapi masalah
tertentu. Biasanya yang menjadi perhatian dalam membicarakan hal ini, pertama adalah
apa isu yang dihadapkan oleh pembuat polling kepada warga masyarakat, dan kedua
bagaimana sikap atau orientasi khalayak terhadap isu tersebut.
Isu adalah rumusan atas masalah aktual dan bersifat kontroversial yang sedang
berlangsung dalam masyarakat. Pilihan yang dilakukan oleh pelaksana jajak pendapat atas
suatu isu, sangat bertalian dengan kehidupan masyarakat atau setidaknya masalah tersebut
diasumsikan dialami atau dipikirkan warga masyarakat. Sebab tanpa relevansi dengan
kehidupannya, pendapat khalayak bukan sebagai fakta sosial. Selain itu pula warga
masyarakat tentunya tidak akan antusias untuk memberikan pendapatnya.
Karena isu yang dihadapkan adalah masalah yang bersifat kontroversial, maka hasil
jajak pendapat selamanya bermuara kepada sikap atau orientasi bersifat pro, kontra atau
netral terhadap isu spesifik. Pro-kontra memiliki makna yang sama pentingnya. Artinya
bukan hanya posisi pro terhadap suatu isu yang penting, sebab tanpa adanya kontra suatu
pro tidak memiliki makna. Begitu pula Dari sini opini publik perlu dibedakan dengan
persepsi dan penilaian publik terhadap standar pelayanan publik yang merupakan pendapat
awam (general opinion). Pendapat awam pada dasarnya tidak bersifat kontroversi, sebab
sudah mengandung kebenaran atas dasar akal sehat.
Lebih jauh boleh dilihat arti penting hasil suatu jajak pendapat. Soalnya, setelah
mengetahui komposisi berdasarkan sikap pro-kontra khalayak terhadap isu tertentu, lantas
3
apa? Untuk itu dapat dipertanyakan, siapa sebenarnya yang berkepentingan atas data suatu
jajak pendapat? Lembaga survai atau polling tentu saja tidak boleh memasukkan
kepentingan subyektif instansinya dalam penyelenggaraan jajak pendapat, dan karenanya
pula tidak boleh suatu data mengandung kepentingan subyektif. Ini kaidah moral yang
menjadi standar profesional setiap peneliti. Data mungkin saja digunakan oleh pihak lain,
misalnya untuk tujuan advokasi, atau kampanye suatu standar kehidupan. Tetapi pelaksana
polling tidak pernah berpretensi untuk menggunakan data pendapat khalayak untuk
membentuk lagi pendapat khalayak.
Lalu bagi khalayak sendiri, setelah menyadari sikap dan pendapat sesama warga
terhadap isu spesifik, apakah ada nilai pragmatis baginya? Konstelasi data mungkin saja
dapat mempengaruhi sikapnya terhadap masalah aktual yang masih berlangsung. Untuk
polling yang berkaitan dengan proses pemilihan (electoral process) di Amerika Serikat,
memang ada anggapan tentang efek “bandwagon”. Disebabkan melihat angka yang tinggi,
pada saat pemilihan khalayak akan memilih kandidat yang diperkirakannya menang..
Tetapi berbeda dengan jajak pendapat atas isu sosial. Setiap jajak pendapat semacam
ini, selamanya bersifat “snapshot”. Kalaupun dilakukan serial jajak pendapat, perubahan
konstelasi sikap yang terjadi, sesungguhnya berasal dari faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi khalayak. Belum pernah ada pembuktian empiris bahwa perubahan sikap
khalayak pada jajak pendapat yang bersifat “time series” disebabkan oleh pengaruh angka
jajak pendapat sebelumnya. Karenanya kemanfaatan pragmatis nilai jajak pendapat
mengenai suatu isu bukan untuk diri khalayak. Dari sisi khalayak, kegiatan dan data jajak
pendapat dapat dilihat sebagai bagian dalam proses mengaktualisasikan sikap dan orientasi
sosialnya.
Biasanya pihak yang berkepentingan atas suatu isu adalah pihak yang kegiatan
profesionalnya terkait secara langsung dalam masalah aktual yang dijadikan isu. Data suatu
jajak pendapat biasanya dijadikan dasar evaluasi dan prediksi. Data pendapat tentang isu
yang mendasari keputusan dalam kebijakan seorang pejabat publik tentunya menjadi
perhatian serius bagi sang tokoh dan para agen “public relations”nya agar dapat
memperbaiki kinerjanya di tengah masyarakat.
Pada dasarnya politisi dalam berbagai strata yang akan mengambil kemanfaatan atas
data jajak pendapat yang dilaksanakan oleh lembaga survai ataupun suratkabar. Data
semacam ini dianggap sangat penting, melengkapi upaya mencari tahu pendapat khalayak
yang dilakukan oleh kantor politisi sendiri. Upaya ini antara lain “sounding” kalangan
masyarakat dalam strata yang diperlukan misalnya melalui percakapan informal dengan
supir taksi, pelayan restoran, guru, kaum profesional dan lainnya, atau pertemuan dengan
pemimpin-pemimpin lokal, atau analisis surat-surat pembaca di suratkabar, dan
sebagainya.
( 3 )
Keberadaan jajak pendapat sangat berkaitan dengan dua kondisi. Pertama, apakah
sistem politik menyebabkan atau bahkan “memaksa” politisi dan pejabat publik harus
mendengar khalayak. Artinya makna suatu jajak pendapat di suatu lingkungan negara
sesungguhnya sangat ditentukan dengan keberadaan politisi dan profesional, baik yang
berada dalam tubuh birokrasi publik maupun yang berada di luar. Sepanjang mereka
memerlukan gambaran tentang sikap dan orientasi khalayak berkaitan dengan masalah
politik, ekonomi, atau sosial yang bersifat kontroversial, jajak pendapat merupakan jalan
paling praktis.
Kedua, mengingat pendapat khalayak pada dasarnya bertolak dari masalah yang
bersifat kontroversial, maka masalah mendasar lagi adalah apakah situasi pro-kontra yang
diekspos ini dapat ditoleransi di tengah masyarakat. Manakala tidak pernah dikenal
4
pendapat khalayak yang dimanifeskan, masalah kontroversial dibiarkan laten, dan dengan
rekayasa sosial masalah tadi diupayakan diselesaikan. Dengan cara ini proses mendeteksi
masalah sosial dijalankan melalui saluran “undercover” oleh para polisi rahasia, seperti
yang terjadi di negara fasis dan komunis. Karenanya keberadaan data pendapat khalayak
dianggap sama sekali tidak ada, atau kalau ada yang berusaha memanifeskannya, akan
dianggap sebagai subversi.
Inti permasalahan dapat dilihat lebih ke dalam lagi, adalah sejauh mana fakta sosial
dianggap penting sehingga layak untuk diungkapkan secara terbuka dalam wujud
informasi. Fakta sosial adalah dinamika yang berlangsung secara empiris dalam kehidupan,
dan dinamika alam pikiran warga masyarakat. Secara sederhana kedua macam fakta ini
biasa dipilahkan sebagai fakta sosiologis dan fakta psikologis.
Proses dari fakta sosial menjadi informasi ini dikerjakan secara profesional oleh
berbagai lembaga dengan kaidah kerja masing-masing. Lembaga survai baik perusahaan
atau universitas memproses fakta sosial menjadi data penelitian, lembaga jurnalisme
menyajikannya sebagai informasi pers, lembaga BAKIN menjadikannya sebagai informasi
intelijen, dan seterusnya.
Masing-masing data atau informasi ini dihasilkan dengan kaidah yang berlainan, dan
untuk tujuan yang berbeda pula. Tetapi kesemuanya mengandung sifat yang sama, yaitu
kesesuaian informasi dengan fakta. Inilah makna kebenaran yang menjadi dasar kerja
dalam dunia akademik, jurnalisme ataupun intelijen, jika memang dijalankan secara
profesional. Kesemua cara mendapat informasi ini berada pada dataran yang sama, dan
hanya akan hidup di lingkungan yang memberi tempat kepada kebenaran faktual.
Kebenaran faktual ini mencakup seluruh aspek kehidupan, baik mengenai warga
masyarakat maupun penyelenggara kekuasaan negara.
Mungkin saja kerja intelijen tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran
faktual, sebab tugasnya adalah rekayasa penghancuran lawan melalui operasi psikologis
(psychological warfare) atau dengan tindakan fisik menggebuk. Tetapi tugas imperatif
lembaga survai sosial, jajak pendapat khalayak, begitu pula jurnalisme, bukan untuk tujuan
berperang, atau tujuan pragmatis lainnya. Tugasnya hanyalah mendapatkan kebenaran
faktual. Data atau informasinya bersifat terbuka, karenanya dapat digunakan oleh pihak
manapun.
Masalahnya, apakah kebenaran faktual memang diperlukan, atau sebaliknya
mengapa kebenaran faktual tidak diinginkan termanifes dan terbuka? Jajak pendapat dan
kerja pengungkapan informasi faktual lainnya pada dasarnya berhadapan dengan
pertanyaan ini. Tekanan kekuasaan negara terhadap pelaksana jurnalisme berjalan secara
langsung melalui lisensi terbit, skrining wartawan, serta pengendalian pemberitaan, atau
secara tidak langsung melalui organisasi profesi yang menjadi bagian korporatis kekuasaan
negara. Sementara tekanan terhadap dunia survai sosial mungkin akan mewujud melalui
pengendalian perijinan, baik ijin penelitian maupun akreditasi peneliti, atau lainnya.
***
Kegiatan jajak pendapat khalayak berada pada dua dunia: jurnalisme dan akademik.
Tradisi jajak pendapat berkembang di lingkungan pers, untuk memformulasikan faktafakta
selama proses pemilihan umum di Amerika Serikat. Untuk kebutuhan mendapatkan
secara berkala dinamika masyarakat, maka pers melakukan jajak pendapat. Perkembangan
metodologi maju pesat, terutama setelah tahun 1948 Social Science Research Council
mendukung kajian untuk memperbaiki instrumen metodologi, sehingga semakin akurat
data dan nilai prediksinya.
Kalau di Indonesia kegiatan jajak pendapat yang diselenggarakan pers maupun
lembaga jajak pendapat pada masa Orde Baru dihadang kendala, dapat dijelaskan melalui
cara kekuasaan negara menghadapi kebenaran faktual. Media jurnalisme memang institusi
5
yang sudah menjadi bulan-bulanan kekuasaan, sehingga apapun yang dilakukannya dalam
mengangkat fakta sosial, akan selalu mendapat tekanan. Karenanya tidak heran manakala
institusi pers direndahkan sedemikian rupa karena dianggap tidak mampu dan tidak layak
melakukan jajak pendapat.
Sementara dalam menghadapi data jajak pendapat, kekuasaan akan menggunakan
“bahasa” akademik. Kalau perlu dengan meminjam mulut akademisi, sebagaimana sering
kekenesan dalam dunia akademik, cara meng-”condemn” suatu penelitian adalah dengan
mempermasalahkan metodologi, mulai dari validitas instrumen (termasuk penentuan
sampel dan uji statistik) sampai reliabilitas data. Padahal dengan metodologi yang
diperkembangkan sejak tahun 1930-an hingga sekarang, pelaksana jajak pendapat sudah
menggunakan pola instrumen yang standar. Karenanya keberatan yang bersifat kuasi
akademik terhadap hasil jajak pendapat, dengan mudah dikenali sebagai dalih yang ingin
mengabaikan fakta sosial yang berasal dari kehidupan masyarakat.

Manifesto Studio: Tidak mampu melestarikan, museumkan saja!

Manifesto Studio: Tidak mampu melestarikan, museumkan saja!

Minggu, 31 Januari 2010

Tidak mampu melestarikan, museumkan saja!

Keberadaan kesenian dalam tradisi masyarakat adat merupakan bukti nyata akan eksistensi masyarakat tersebut, sebab selain kehadirannya pada setiap kegiatan ceremonial masyarakat, kesenian dalam kondisi tertentu dapat juga menjadi sebuah tolak ukur loyalitas bagi setiap individu masyarakat terhadap aturan dan norma adat yang sudah ditransformasikan secara turun temurun. Sebuah keluarga dapat dianggap kurang memiliki sikap loyal terhadap adatnya ketika dalam upacara yang sakral seperti khitanan, pesta perkawinan tidak menyertakan kesenian tradisional di dalamnya seperti kesenian Randai, Rarak Calempong, kayat dan musik tradisional lainnya. Realitas seperti inilah yang menjadi bukti bahwa kesenian tradisional sangat berarti bagi eksistensi maupun sebagai identitas suatu daerah atau wilayah tertentu.
Kuantan Singing merupakan kabupaten yang banyak memiliki keberagaman adat istiadat dan kesenian. Apabila kita cermati dengan seksama dari kacamata budaya yang didalamnya mencakup unsur adat istiadat, kesenian dan bahasa, keberagamaan adat istiadat, bahasa dan kesenian ini ternyata tidak hanya dapat dilihat antar wilayah setingkat kabupaten saja, bahkan keberagaman ini dapat dirasakan antar kecamatan atau kenegerian yang ada di dalam Kabupaten itu sendiri, sebut saja kesenian musik tradisi Calempong dalam Kabupaten Kuantan Singingi misalnya; pola permainan ritme/irama yang dimainkan dalam kecamatan/kenegerian Sentajo memiliki perbedaan dengan yang ada di kenegerian Pangean atau kenegerian Kopah dan kecamatan/kenegerian lainnya. Begitu pula halnya, kalau kita dengar dalam bahasa maupun aturan atau norma adat yang diberlakukan dalam masyarakat, perbedaan itu lebih kuat dapat dirasakan meskipun dalam konteks yang lebih umum kesemuanya itu berakar dari suatu rumpun budaya yang sama yakni Melayu.
Keberagaman yang dimaksudkan di atas, di tinjau dari perbedaan-perbedaan yang tidak begitu kentara sampai ke tingkat yang signifkan sekalipun. Keberagaman ini tentunya dicapai melalui proses perkembangan budaya yang cukup panjang dalam kehidupan masyarakat antar kecamatan/kenegerian tersebut yang disebabkan oleh faktor-faktor historisnya sendiri.
Adanya keberagaman budaya, harusnya dapat menjadi sesuatu asset daerah yang harus dikembangkan dan dikampanyekan secara terus menerus ditengah-tengah gencarnya arus akulturasi budaya asing yang masuk. Upaya ini tentunya bertujuan agar identitas budaya masyarakat daerah Kabupaten Kuantan Singingi terus dapat dirasakan meski zaman terus berjalan.
Mengembangkan kebudayaan memang tidak begitu mudah, juga tidak begitu sulit untuk dilakukan artinya harus ada langkah yang konkrit dan terprogram untuk mewujudkannya. Mengembangkan kebudayaan ini dapat dimulai melalui unsur kebudayaan itu sendiri seperti, Adat Istiadat, maupun Kesenian