Kamis, 18 Februari 2016

Ekspresi V


...Malam terusik oleh tangisan balita, meraung... bak alunan distorsi musik rock di telinga insan yg menginginkan keheningan... 13 Mei 2012 

Sepertinya meyakinkan alam pikiran akan Logika sederhana menjadi solusi untuk menjawab kegelisahanku atas keterbatasan diri dan kelelahan raga menghadapi rentang menuju batas waktu yg tak kunjung memunculkan sebuah ide..meski berbagai stimulus pada otak telah kucoba berikan...13 Mei 2012 

Suara Gemuruh Petir tiba-tiba membuat gaduh, sontak memecah lamunanku yg sedari tadi menyusuri lorong-lorong sempit perpustakaan makna yg telah diselimuti debu-debu masa lalu... 16 Mei 2012


kilauan cahaya lampu menyilaukan mata, rintik air hujan memberi irama, manisnya teh hangatkan suasana, rentetan status mengidupkan rasa, hembusan tembakau lepaskan resah..gigitan nyamuk membuyarkan semuanya tanpa terasa jam dinding berputar dengan cepatnya membawa rasa penat mulai terasa hingga akhirnya kelopak mata merapat menghindari terpaan kilau cahaya... 16 Mei 2012


Aku tak ingin menyadari "baiknya" setelah semuanya usai...
Aku ingin mengenali "buruknya" sebelum semuanya dimulai... 16 Mei 2012

Rasa penat mulai menguat di betis dan telapak kaki, drama kehidupan silih berganti di pertontonkan, suara alam tak mau memberi kebisuan, kata-kata mengitari alam pikiran, nyamuk nakal mencari celah tuk berikan gigitan, posisi dudukku pun serasa tak nyaman. Kekerasan hati memaksaku untuk terus melegakan pikiran demi tuk menikmati makna kehidupan. 16 Mei 2012




Ingin selalu hadir dengan yg kondisi terbaik memang harus menjadi impian namun ini sering membuat kita mngalami kgelisahan..
begitulah hidup terkadang proses terasa lebih berat dan panjang di bandingkan menerima hasil..
Namun seburuk apapun hasil itu.. jujur dan mengakui serta menerima,. inilah diri kita sesungguhnya akan jauh lebih baik bagi ketenangan diri meski mungkin bagi sebagian orang akan besikap sinis dan meremehkan kita..
Sesungguhnya ia juga tidak sadar atau belum menemukan kekurangan dalam dirinya..
Maka dari itu marilah saling menghargai meskipun kita meragukan niat baik mereka yg belum terbukti itu.. 17 Mei 2012

Mata terlalu redup untk melihat, bibir terlalu keluh untk bicara, kpala terlalu enggan untk berpikr, perut terlalu kenyang untk makn, kaki terlalu capek untk di langkhkan, batrai hp terlalu lemah untk di hdupkan. Waktu terlalu lama di sia-siakan. 20 Mei 2012


Perilaku Manusia merupakan cerminan paling sederhana dari motivasi dasar mereka   22 Mei 2012

semakin banyak aspek-aspek pekerjaan yg sesuai dgn keinginan individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yg di milikinya begitu pula sebaliknya..                               22 Mei 2012

Alasan orang menunda-nunda adalah karena mereka tidak suka melakukan aktivitas tersebut.. 22 Mei 2012

Manajemen waktu membantu Anda menjadi lebih dinamis, menang, dan
mengurangi stres. Kunci
manajemen waktu mengharmonisasikan kegiatan
Anda sehingga hidup bukan
hanya untuk bekerja saja, tetapi juga bermain. Pada akhirnya akan lebih banyak tugas yang selesai dan Anda pun bahagia. 22 Mei 2012

tak jarang abu-abu yg tampak meski putih diharapkan, tak jarang pula jaraknya tampak begitu dekat saat di jalani terasa jauh, sesekali tekanan menjadikan kita pesimis meski akal meyakinkan raga sebagai motivasi..                      24 Mei 2012 

Kesenangan dengan kebaikan sepertinya tidak selalu sejalan, egoisme merubah wajah manusiawi kita. Hanya yg mampu melihat kemalangannyalah yg dapat melawannya walau terkadang berakhir tragis dgn penyesalan yg tak berguna.. 24 Mei 2012

I yakin, I percaya, semua tentu punya sebab akibat, tapi I ragu dan I bimbang apakah I mampu, lalu I pejamkan mata dan tabrak semua yg tak terhindarkan, hanya agar I segera tahu berbagai akibat untuk menemukan beberapa penyebab..dan I mau, maka I lakukan, Jika mungkin I anggap baik..buat I. 27 Mei 2012 

Sudah hampir satu jam aku pejamkan mata, seketika tersadar ternyata aku blum jg dapat tertidur, jadi sedari tadi aku bukn bermimpi tapi pikiranku melamun, berandai, menguatkan hati akan pilihan sikap yg hrus diambil atas kkecewaan dan ketidakpedulian akan nasib anak bangsa, yg mungkin akan terdengar miris bgi yg lain, karna tak percya yg berkata pun belum semprna sperti yg di idealkan, namun mungkin saja ada yg bisa mengerti atau merasakan hal yg sama..tuk skedar mengtahui bahwa asa itu tak sendiri, atau smua tak mungkin lagi...agar ku tak terlarut dalam lamunan malam ini dan dapt terlelap untk menatap tantngn esok hari.. 30 Mei 2012 · 

Sangat tak bijak bila kita melakukan kesalahan yang sebenarnya kita ketahui itu akan membawa kita pada hal yang sangat merugikan. 30 Mei 2012 · 

 Kehampaan mulai menjauh, kelegaan telah menyambutku, diiringi kelelahan yg menghanyutkan, maka biarkanlah syaraf ini mengendur, otot-otot betis melemas, kelopak mata merapat lalu relakan ia terpejam agar kusadari esok pagi bahwa aku masih bisa melewati malam layaknya mereka... 30 Mei 2012

... Saking bersemangat... makanya terlalu cepat..., hasilnya jg kurang baik..., Tapi suasana mengasikkan juga... tak apalah kan baru sekali...kan knal nuansa dan fasihkan dulu..., yg penting tahu apa yg akan dilakukan slanjutnya oke..? 31 Mei 2012 · 


Aku akan malu jika hanya dapat berbuat untuk diri sendiri... Aku akan senang jika aku bisa berbuat  untuk keluargaku...  dan Aku akan bangga jika aku bisa berbuat untuk orang banyak...maka aku takut jika aku tak bisa berbuat apa-apa...Aku akan senang jika ada yang mau mengajarkanku... Aku akan panut jika
ada yang mau 
membimbingku... Maka aku akan murka
jika kau hanya mampu mencelaku...
1 Juni 2012

Disaat rasa lelah kian menghantuiku, benih-benih kemarahanku pun mulai menampakkan tunasnya... Disaat rasa amarah telah menggagahiku, dengan bersimpuh ku tawarkan manisan moral yang telah balut dengan bungkusan kado yang indah. 2 Juni 2012 ·

Kebijakan 24 Jam Mengajar Bagi Guru Profesional (Sebuah Analisis Kebijakan) Penulis: Agus Suroyo, S.Pd.I., M.Pd.I Makalah ini tercantum di http://mentarinews.co.id/kebijakan-24-jam-mengajar-bagi-gu…/



Pendidikan merupakan aspek penting dalam sebuah Negara karena pendidikan sangat menentukan peradaban suatu bangsa.
Oleh karena itu wajar jika bangsa kita memberikan perhatian yang lebih terhadap pendidikan. Di dalam konstitusi kita UUD 1945 pasal 31 terdapat lima ayat penting yang menjadi dasar pijakan kebijakan pendidikan di Indonesia.
Isi dari kelima ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Pendidikan merupakan hak warga Negara
Warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang,
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN serta APBD
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Tatap muka 24 jam seminggu
Berdasarkan kutipan isi pasal 31 UUD 1945 di atas peran pemerintah dalam pendidikan sangatlah penting, setidaknya ada dua hal yang wajib dilakukan pemerintah yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan system pendidikan nasional dan menganggarkan 20% dari APBN serta APBD. Kedua hal di atas perlu ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan pendidikan yang kemudian akan diimplementasikan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan pesan UUD 1945 di atas maka pemerintah wajib mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri sebagai tindak lanjut pelaksanaan amanah UUD 1945. Misalnya saja terkait dengan amanah UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional maka keluarlah Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 1989. UU tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peraturan pemerintah dan secara teknis pelaksanaanya diatur melalui peraturan menteri.
Berbicara masalah kebijakan pendidikan sudah barang tentu ada kebijakan yang berkaitan dengan guru mengingat guru adalah unsur penting dalam dunia pendidikan, pada makalah ini penulis akan mengkaji mengenai kebijakan beban kerja guru yang secara teknis diatur dalam Permendiknas nomor 39 tahun 2009 yaitu mengenai beban kerja guru dan pengawas.
Pembahasan pada makalah ini akan dimulai dengan membahas pengertian kebijakan pendidikan dan analisis kebijakan pendidikan, setelah itu penulis masuk ke pembahasan kebijakan 24 jam mengajar yang meliputi dasar hukum kebijakan 24 jam mengajar, hubungan antara kebijakan 24 jam mengajar dengan sertifikasi guru, problematika impelementasi kebijakan 24 jam mengajar dan implikasi kebijakan 24 jam mengajar bagi guru PAI serta solusi alternatif pengganti beban kerja 24 jam mengajar.
Pengertian Kebijakan Pendidikan dan Analisis Kebijakan Pendidikan
Sebelum membahas kebijakan tentang beban kerja guru penulis akan membahas mengenai pengertian kebijakan. Istilah kebijakan disepadankan dengan kata bahasa Inggris “policy” yang dibedakan dari kata ‘kebijaksanaan’ (wisdom) maupun ‘kebijakan’ (virtues).[1] Beberapa pakar ada yang membedakan istilah kebijakan dan kebijaksanaan.
Ali Imron misalnya menyatakan bahwa yang paling tepat dari arti policy adalah kebijaksanaan, sedangkan kebijakan adalah terjemahan dari kata wisdom. Lebih lanjut Ali Imron menjelaskan bahwa kebijaksanaan (policy) adalah aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapapun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan atau wisdom adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku.[2] Namun yang lazim dipakai dalam beberapa literatur tentang kebijakan adalah kebijakan bukan kebijaksanaan oleh karena itu penulis dalam makalah ini menggunakan istilah kebijakan bukan kebijaksanaan.
Secara umum kebijakan diartikan dengan kearifan mengelola. Dalam ilmu-ilmu sosial, kebijakan diartikan sebagai dasar haluan untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan dalam mencapai suatu tujuan. Menurut Anderson, kebijakan (policy) diartikan sebagai suatu arah tindakan yang bertujuan, yang dilaksanakan oleh pelaku kebijakan di dalam mengatasi suatu masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan. Edi Suharto mengartikan kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.
Dari arti kebijakan diatas bila dikaitkan dengan pendidikan maka berarti dasar-dasar haluan yang digunakan dalam menentukan tindakan oleh pemerintah suatu Negara untuk mencapai tujuan pendidikan dalam negaranya. Senada dengan arti tersebut Arif Rohman mengartikan kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan proses dan hasil perumusan langkahk-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakan dalam kurun waktu tertentu. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, instruksi presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan sebagainya.
Setelah kita mengkaji tentang kebijakan pendidikan tidak ada salahnya jika kita juga mengkaji tentang analisis kebijakan pendidikan. Analisis kebijakan pendidikan menurut Penelaahan Sektor Pendidikan (PSP) adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis. Terkait dengan analisis kebijakan pendidikan ini Dunn membagi ke dalam dua dimensi yaitu dimensi rasional dan dimensi politik. Dimensi rasional adalah analisis yang menghasilkan informasi teknis sedangkan dimensi politik adalah suatu proses penentuan kebijakan melalui suatu perjuangan politik dari beberapa kelompok kepentingan yang berbeda-beda.
Dalam proses analisis kebijakan menurut Dunn ada tiga bentuk atau model analisis kebijakan, yaitu model prospektif, model retrospektif, dan model integratif.
Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan ’sebelum’ suatu kebijakan diterapkan. Model ini sering disebut dengan model prediktif karena lebih banyak bersifat meramalkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika suatu kebijakan diterapkan.
Model retrospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan ’setelah’ suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini sering disebut dengan model evaluatif karena benyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan. Model inilah yang penulis gunakan dalam analisis makalah ini.
Model intregatif adalah model perpaduan antara kedua model di atas. Model ini kerap disebut dengan model holistik atau komprehensif, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul baik ’sebelum’ maupun ’setelah’ kebijakan diterapkan.
Dasar Kebijakan Beban Kerja 24 Jam Mengajar
Berkaitan dengan kebijakan 24 jam mengajar ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bebab kerja guru yaitu UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP nomor 74 tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.
UU nomor 14 tahun 2005 pada pasal 35 ayat 2 menyebutkan bahwa beban kerja guru adalah sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu. PP nomor 74 tahun 2008 tentang Guru pada pasal 52 ayat 2 menyebutkan bahwa beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pada ayat 3 pasal 52 disebutkan bahwa pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam tatap muka dalam satu minggu dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit 6 jam tatap muka dalam satu minggu pada satuan pendidikan tempat tugasnya sebagai Guru
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan pasal 1 disebutkan bahwa beban kerja guru paling sedikit ditetapkan 24 jam tatap muka dalam satu minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari pemerintah. Namun demikian bagi guru yang mendapatkan tugas tambahan mendapatkan beban mengajar bisa kurang dari 24 jam tatap muka. Guru yang mendapatkan tambahan tugas sebagai kepala satuan pendidikan beban mengajarnya paling sedikit 6 jam tatap muka atau membimbing paling sedikit 40 peserta didik bagi kepala satuan yang berasal dari guru BK. Adapun guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai wakil kepala satuan pendidikan, kepala perpustakaan, kepala laboraturium, bengkel atau unit produksi satuan pendidikan adalah paling sedikit beban mengajarnya 12 jam tatap muka.
Apabila guru mata pelajaran tertentu karena dalam keadaan kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu sehingga tidak dapat memenuhi beban mengajar minimal 24 jam tatap muka maka diberi kesempatan selama jangka waktu 2 tahun sejak berlakunya Permendiknas nomor 39 tahun 2009 untuk memenuhi beban mengajar dengan cara:
Mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada guru mata pelajarannya paa satuan administrasi pangkal atau satuan pendidikan lain;
Menjadi tutor program paket A, paket B, paket C, paket C kejuruan atau program pendidikan keaksaraan;
Menjadi guru inti instruktur/tutor pada kegiatan Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Membina kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk kegiatan Praja Muda Karana (Pramuka), olimpiade/lomba, kompetensi siswa, olah raga kesenian, Karya Ilmiah Remaja (KIR), kerohanian, pasukan pengibar bendera (Paskibra), Pecinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Jurnalistik/fotografi, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan sebagainya;
Membina pengembangan diri peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan sesuai dengan bakat,minat, kemampuan, sikap dan perilaku siswa dalam belajar serta kehidupan pribadi, social, dan pengembangan karir didri;
Melakukan pembelajaran bertim (team teaching) dan/atau;
Melakukan pemebelajaran perbaikan (remedial teaching)[1]
Pemberlakuan ketujuh alternatif di atas hanya berlaku selama dua tahun setelah proses pemetaan dan penataan selesai maka guru yang tidak mendapatkan tugas sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala perpustakaaan, kepala laboraturium tetap harus mengajar minimal 24 jam.
Hubungan Kebijakan 24 Jam dengan Sertifikasi Guru
Undang-Undang Guru dan Dosen menyatakan bahwa sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan mutu guru dan peningkatan kesejahteraannya.
Oleh karena itu , lewat sertifikasi ini diharapkan guru menjadi pendidik yang profesional yaitu yang berpendidikan minimal S-1/D-4 dan berkompetensi sebagai agen pembelajaran yang dibuktikan dengan pemilikan sertifikat pendidik setelah dinyatakan lulus uji kompetensi. Sebagai tenaga profesional, guru harus memenuhi sejumlah persyaratan. Persyaratan tersebut adalah memiliki kualifikasi akademik, memiliki kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani rohani, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kebijakan sertifikasi ini tepat mengingat pendidikan di Indonesia mengalami banyak kemunduran, hal ini bisa dilihat dari berbagai fakta seperti peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih rendah yaitu peringkat 111 dari 117 negara pada tahun 2004 dan peringkat 110 tahun 2005, laporan International Educational Achievment (IEA) yang menyebutkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada diurutan 38 dari 39 negara disurvei, laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 dari 47 negara yang disurvei.[2]
Kemunduran pendidikan itu tidak dapat dilepaskan dari rendahnya kualitas para gurunya. Berdasarkan data Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP, dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
Secara rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut:
Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebesar 119.470 orang (78,1%) dengan sebagian besar (32.510) berijazah SMA.
Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D-1.
Di tingkat SMP, yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebesar 317.112 orang (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D-1 dan 82.788 orang berijazah D-2.
Di tingkat SMA terdapat 87.133 orang (46,6%) guru yang belum memiliki kualifikasi minimum yakni 164 berijazah D-1, 15.589 orang berijazah D-2, dan 71.380 orang berijazah D-3.
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar guru belum mencapai kualifikasi minimal akibatnya banyak guru yang kurang kompeten dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Menurut E. Mulyasa terdapat tujuh indikator lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya mengajar yaitu:
Rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran
Kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas
Rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian tindakan kelas
Rendahnya motivasi berprestasi
Kurang disiplin
Rendahnya komitmen profesi
Rendahnya kemampuan manejemen waktu.
Dengan melihat kenyataan demikian kebijakan sertifikasi pendidik merupakan kebijakan yang tepat karena dengan adanya sertifikat pendidik ini akan memberikan manfaat antara lain:
Melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri.
Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan.
Menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.
Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Sertifikasi pendidik dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi ini antara lain melalui penilaian portofolio, bagi yang tidak lulus portofolio bisa melalui pendidikan dan pelatihan profesi guru. Setelah lulus mereka akan mendapatkan sertifikat pendidik dan dinyatakan sebagai guru profesional. Guru yang sudah tersertifikasi ini berhak mendapatkan tunjangan profesi.
Selain memiliki sertifikat pendidik ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang guru agar mendapatkan tunjangan profesi. Dalam PP nomor 74 tahun 2008 dijelaskan mengenai syarat mendapatkan tunjangan professi yaitu sebagai berikut:
Memiliki satu atau lebih sertifikat pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi Guru oleh Departemen;
Memenuhi beban kerja guru;
Mengajar sebagai guru mata pelajaran dan atau guru kelas pada satau npendidikan yang sesuai dengan peruntukan sertifikat pendidik yang dimilikinya;
Terdaftar pada Departemen sebagai Guru tetap;
Berusia paling tinggi 60 tahun;
Tidak terikat sebagai tenaga tetap pada isntansi selain satuan pendidikan tempat bertugas.
Dari keenam syarat di atas salah satu syarat mendapat tunjangan profesi adalah memenuhi beban kerja guru. Beban kerja guru sebagaimana dalam Permendiknas nomor 39 tahun 2009 adalah minimal 24 jam dan maksimal 40 jam tatap muka. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa sertifikasi guru memiliki hubungan erat dengan beban kerja 24 jam karena beban kerja 24 jam menjadi salah satu syarat seorang guru professional mendapatkan tunjungan profesi bahkan bisa dikatakan bahwa beban kerja 24 jam mengajar menjadi salah satu cirri khas guru professional. Sekalipun telah lulus sertifikasi dan mendapatkan sertifikat pendidik professional namun jika ia belum memenuhi beban kerja 24 jam maka mereka tidak akan mendapatkan haknya sebagai guru professional.
Problematika Implementasi Kebijakan Beban Kerja 24 Jam Mengajar
Rasio Siswa-Guru (RSG) di Indonesia ternyata sangat mewah dibanding negara lain. Sebab jika diberlakukan standar RSG internasional, Indonesia kelebihan pasokan guru sebesar 20% atau sekitar 500 ribu guru.
Berdasarkan data World Bank untuk sekolah dasar, rata-rata Rasio Siswa dan Guru (RSG) Indonesia mencapai 17: 1 sedangkan RSG di dunia mencapai 31: 1.
Adapun RSG di beberapa negara seperti:
India hingga 40 : 1
Korea tercatat 24: 1
Thailand 16 : 1
Amerika Serikat 14: 1
Sementara pada sekolah menengah, RSG Indonesia jauh lebih rendah yakni 12 : 1 atau setara Jepang. Sedangkan Amerika Serikat 14: 1 dan yang paling besar RSG adalah Filipina dan India mencapai 1: 35.
Oleh karena itu Mendiknas Muhammad Nuh menyatakan bahwa perlu adanya kebijakan penataan terkait dengan rekruitmen guru. Kebijakan yang akan dapat diambil antara lain menurut Muhammad Nuh adalah pengajaran kelas rangkap atau multi grade teaching, penetapan RSG 24:1 dan beban mengajar 24 jam. Pernyataan Muhammad Nuh di atas mengisyaratkan bahwa beban kerja 24 jam mengajar menjadi salah satu alternatif untuk menekan kelebihan guru yang dapat menjadi beban anggaran negara. Dengan demikian kebijakan ini tetap akan dilanjutkan.
Pada kenyataan diketahui bahwa di beberapa kabupaten/kota banyak guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu. Hal tersebut dapat terjadi karena alasan kelebihan guru, penyebaran guru tidak proporsional, dan jumlah rombongan belajar yang tidak mencukupi. Agar beban kerja tersebut terpenuhi maka Kabupaten/Kota harus memiliki perencanaan kebutuhan dan pendistribusian guru yang tepat sesuai dengan kebutuhan sehingga kelebihan guru tidak terjadi dan semua guru dapat memenuhi kewajibannya dalam hal beban kerja per minggu.
Guru yang telah memiliki sertifikat profesi pendidik akan menerima hak berupa tunjangan profesi dan maslahat tambahan apabila telah memenuhi kewajiban beban kerja tatap muka. Kebijakan ini sangat merugikan guru yang sudah tersertifikasi tetapi tidak memenuhi beban kerja karena dengan kebijakan ini banyak guru tidak mendapatkan tunjangan profesional. Sekretaris Ditjen PMPTK Depdiknas Giri Suryaatmana mengatakan, sebanyak 38 ribu guru yang tidak mendapat tunjangan profesi adalah mereka yang ikut sertifikasi 2008. Dari kuota 200 ribu guru yang ikut sertifikasi guru, 38 ribu terancam tak mendapat tunjangan satu kali pokok itu.
Banyak komentar miring dari beberapa kalangan terhadap kebijakan ini misalnya saja dari Ketua PGRI DIY Zainal Fanani sebagaimana pernyataannya dalam harian Media Indonesia pada tanggal 21 September 2010 sebagai berikut:
“Syarat itu menyulitkan guru karena jumlah mata pelajaranyang diajarkan dengan jumlah guru tidak sebanding. Saat ini tidak semua mata pelajaran bisa diajarkan setiap hari, padahal jumlah guru semakin lama semakin bertambah”.
Syarat 24 jam mengajar selama ini selalu menjadi kendala khusus bagi guru. Menurut Asep Kurniawan, salah seorang guru swasta, dalam harian kompas 13 Januari 2009 menyatakan bahwa beban tugas mengajar 24 jam seminggu yang disyaratkan untuk bisa menerima tunjangan profesi sulit dipenuhi mayoritas guru.
“Untuk guru kelas di swasta, ini jadi masalah. Sebab, jam mengajar mereka khan banyak diambil oleh guru-guru bidang studi,” katanya.
Selain dengan alasan terhambatnya tunjangan profesi ada beberapa persoalan yang muncul di lapangan antara lain sebagai berikut:
Guru yang kekurangan jam mengajarnya, gara-gara ada guru baru atau perbahan tugas. Akhirnya kecewa. dan pada akhirnya suasana sekolah tidak kondusif.
Guru yang sudah banyak jasanya terhadap sekolah tersebut, ternyata kekurangan jamnya. Lalu mencari jam mengajar disekolah lain , sampai sampai “merendahkan” mengiba untuk meminta jam mengajar.
Siswa kurang terkntrol oleh guru-guru, karena banyak guru yang “terbang” mengajar disekolah lain. Misal: jam ke 1 -2 di sekolah tersebut, lalu jam 3-4 di sekolah lain. Bukan tidak mungkin, akan berdampak pada kurang disiplin siswa, pemalakan siswa, dan sejenisnya.
Kegiatan siswa menjadi tidak semarak, karena dihadiri oleh 1 atau 2 orang guru saja, karena guru lainnya bertugas di sekolah lain. Padahal siswa merasa dihargai kegiatanya apabila dihadiri banyak guru.
Sungguh tak adil, apabila yang mengajar 24 jam mendapat tunjangan, semenatar yang mengajar 20 jam tidak mendapat tunjangan. Seharusnya tunjangan berdasarkan proporsional, mengajar berapapun, seharusnya mendapat tunjangan yang proporsional.
SIstem 1 kompetensi tidaklah tepat bagi guru. Siswa mengaharapkan guru yang serba bisa(multi keahlian), maka harusnya guru boleh mengajar beberapa mata pelajaran sesuai kemampuannya dan mempunyai beberapa keterapilan.
Jika kita kaji implementasi kebijakan 24 jam mengajar di lapangan ada beberapa kendala yang dihadapi yaitu a) banyak sekolah yang kelebihan guru, b) keterbatasan jumlah siswa sehingga rombel menjadi kecil, dan c) beberapa mata pelajaran memiliki jumlah jam yang terbatas.
Adapun problematika yang muncul dalam implementasi kebijakan beban kerja 24 jam berdasarkan hasil penelitian penulis adalah sebagai berikut:
Beban kerja 24 jam sulit diterapkan karena tidak seimbang antara jumlah guru dengan jumlah jam mata pelajaran yang tersedia.
Guru yang tidak memenuhi beban kerja 24 jam biasanya memanfaatkan beberapa alternatif yang diatur dalam Permendiknas nomor 39 tahun 2009 yaitu mengajar di tempat lain. Alternatif ini menjadi masalah baru karena terkadang jarak yang ditempuh antara sekolah yang satu dengan yang lain terkadang terlampau jauh. Disamping itu sekolah induk juga mengalami kesulitan dalam mengatur jadwal dan mengadakan agenda-agenda sekolah karena guru tidak fokus pada satu institusi.
Kebijakan 24 jam mengajar menyebabkan semakin gemuknya struktur organisasi sekolah karena bagi guru yang tidak memenuhi beban kerja dapat memenuhinya dengan menjabat tugas tambahan tetapi dalam praktiknya banyak guru yang diberi tugas tambahan hanya untuk menyelamatkan pemenuhan beban kerja termasuk menjadi pembimbing ekstra tetapi sebenarnya tidak kompeten .
Adanya beban kerja 24 jam banyak guru tidak tetap yang diberhentikan karena banyak guru PNS kekurangan jam sehingga pengangguran pun tak terhindarkan.
Pada mata pelajaran tertentu yang jumlah jamnya sedikit maka konsekuensinya ia harus mengajar banyak kelas untuk memenuhi 24 jam mengajar sehingga beban kerjanya menjadi sangat berat.
Adanya kebijakan beban kerja 24 jam mengajar justru membatasi guru untuk mengembangkan profesionalisme dan kompetensi sosial guru karena guru banyak disibukkan untuk mengajar di kelas.
Guru tidak mudah untuk memenuhi beban kerja 24 jam mengajar di sekolah lain karena sekolah lain pun juga mengalami masalah yang sama yaitu kelebihan guru sedangkan jumlah jam mengajar terbatas.[4]
Implikasi Kebijakan Beban Kerja 24 Jam Mengajar terhadap Guru PAI
Untuk menganalisis implikasi kebijakan 24 jam mengajar terhadap guru PAI maka marilah kita kaji terlebih dahulu peran dan tugas guru. Menurut PP Nomor 74 tahun 2008 Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Peters mengemukakan bahwa tugas guru yang lain adalah guru sebagai pengajar, pembimbing dan administrator kelas. Sejalan dengan Peters, Amstrong membagi tugas dan tanggungjawab guru menjadi lima kategori, yakni: a) tanggung jawab dalam pengajaran, b) tanggungjawab dalam memberikan bimbingan, c) tanggungjawab dalam mengembangkan kurikulum, d) tanggungjawab dalam mengembangkan profesi, dan e) tanggungjawab dalam membina hubungan dengan masyarakat. Dalam kaitannya dengan peran guru Wina Sanjaya membagi peran guru menjadi tujuh yaitu guru sebagai sumber belajar, motivator, fasilitator, demonstrator, pengelola pembelajaran, pembimbing, dan evaluator.
Berdasarkan beberapa uraian tugas dan peran guru di atas maka dapat kita simpulkan bahwa tugas guru tidak hanya mengajar tetapi banyak tugas yang harus dikerjakan oleh seorang guru. Tugas seorang guru sebagai pengajar saja meliputi empat hal yaitu: a) merencanakan proses pembelajaran, b) melaksanakan dan memimpin/mengelola proses belajar mengajar, c) menilai kemajuan proses belajar mengajar, d) menguasai bahan pelajaran bidang study yang diajarkan.
Dengan demikian beban kerja 24 jam mengajar justru akan semakin memperbanyak beban guru karena kewajiban beban kerja minimal 24 jam secara otomatis akan memperbanyak tugas guru dalam merencanakan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penguasaan materi dan evaluasi proses pembelajaran. Akibatnya peran-peran guru yang lain seperti peran sebagai pendidik, motivator, pembimbing, tidak dapat berjalan secara optimal.
Tugas dan peran di atas merupakan tugas secara umum sedangkan untuk guru PAI lebih banyak memberikan penekanan pada pendidikan tidak hanya pengajaran. Dengan demikian jika guru PAI diberikan beban yang sama yaitu minimal 24 jam mengajar maka hal tersebut akan mereduksi peran guru dalam proses mendidik karena guru terlalu terbebani dengan tugas pengajaran seperti membuat perencanaan dan evaluasi. Sekalipun demikian ada juga yang berargumen bahwa semakin banyak beban mengajar justru akan mengoptimalkan perannya dalam mendidik siswa karena frekuensi pertemuan dengan siswa semakin banyak. Hal ini menurut penulis tidak tepat karena beban kerja 24 jam tidak memperbanyak frekuensi pertemuan dengan siswa tetapi memperbanyak siswa yang harus ditemui.
Pemberlakuan beban kerja 24 jam mengajar bagi guru PAI juga menjadi permasalahan mengingat jumlah jam PAI sedikit khususnya di sekolah umum. Dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi jumlah jam PAI di sekolah umum untuk SD kelas 4,5 dan 6 adalah 3 jam pelajaran sedangkan untuk SMP dan SMA jumlah jam pelajaran agama adalah 2 jam pelajaran.
Sedangkan untuk madrasah jumlah jam mengajar PAI lebih banyak sebagaimana diatur dalam Permenag nomor 2 tahun 2008 sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini:
No Mata Pelajaran Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Tsanawiyah Madrasah Aliyah
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
1 Al Qur’an Hadits 2 2 2 2 2 2 2 2 2
2 Akidah Akhlak 2 2 2 2 2 2 2 2 -
3 Fiqh 2 2 2 2 2 2 2 2 2
4 SKI 2 2 2 2 2 2 - 2 2
Sumber: Permenag nomor 2 tentang Standar Isi PAI dan Bahasa Arab
Berdasarkan permendiknas nomor 22 tahun 2006 dan permenag nomor 2 tahun 2008 di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa permendiknas nomor 22 tahun 2006 merupakan acuan bagi PAI sekolah umum sedangkan Permenag nomor 2 tahun 2008 merupakan acuan bagi pelaksanaan PAI di madrasah.
Jika kita mengacu pada permendiknas nomor 22 tahun 2006 maka dapat kita hitung berapa jumlah jam yang tersedia dan berapa guru yang dibutuhkan. Misalnya SMP N X memiliki 9 kelas maka SMP N X tersebut hanya membutuhkan satu orang guru PAI karena PAI di sekolah umum 2 jam dengan jumlah kelas 9 berarti guru PAI SMP N X tersebut baru dapat memenuhi 18 jam sehingga harus mencari tambahan 6 jam di sekolah lain. Jika setiap kelas ada 32 siswa maka untuk 9 kelas tersebut guru PAI bertanggungjawab terhadap 288 siswa. Kalau ditambah 6 jam pelajaran lagi maka guru tersebut membutuhkan 3 kelas jika per kelas 32 siswa berarti satu guru PAI bertanggungjawab terhadap 384 siswa.
Dengan melihat contoh di atas maka kita dapat menganalisis seberapa besar tugas yang harus diemban oleh guru PAI SMP N X tersebut. Dengan mengajar 24 jam/minggu maka perhari guru tersebut rata-rata harus mengajar 4 jam. Untuk di SMP N X minimal ia harus hadir minimal 4 hari sedangkan untuk sekolah tambahannya bisa 1 atau 2 hari. Dari 24 jam mengajar tersebut maka beban guru yang melekat dengan banyaknya jumlah jam tatap muka tersebut adalah membuat perencaanaan dan evaluasi.
Contoh perencanaan pembelajaran adalah silabus dari 24 jam mengajar tersebut guru PAI minimal harus menyusun 4 silabus yaitu 3 silabus untuk SMP N X dan minimal 1 silabus untuk sekolah tambahan jam. Keempat silabus tersebut harus dikembangkan ke RPP maka dapat kita bayangkan berapa RPP yang harus disusun oleh guru. Adapun untuk evaluasi misalnya dalam satu semester guru melaksanakan ulangan 3 kali ditambah UTS dan UAS maka dapat kita hitung beban koreksi guru tersebut yaitu 5 x 384 = 1920.
Dengan melihat deskripsi sekilas di atas maka untuk tugas merencanakan dan evaluasi saja sudah cukup menyita banyak waktu. Lalu kapan guru bisa melakukan pengembangan kualitas pembelajaran dengan mengembangkan metode dan media pembelajaran. Kapan guru harus mengembangkan profesionalisme dengan mengikuti seminar-seminar.
Jika demikian yang terjadi maka guru PAI tidak akan dapat berperan banyak untuk melakukan proses pengamatan, pembimbingan, pembiasaan dan penanaman nilai-nilai keislaman bagi peserta didiknya secara maksimal karena guru tidak hanya mengajar di satu tempat tetapi di banyak tempat.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa kebijakan 24 jam bagi guru PAI memiliki implikasi sebagai berikut:
Banyak guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja 24 jam khususnya guru PAI di sekolah umum karena jumlah jam PAI terbatas sehingga guru PAI harus mengajar minimal 2 kelas.
Dengan ditetapkannnya beban kerja minimal 24 jam mengajar bagi guru PAI maka beban guru PAI lebih banyak difokuskan pada masalah pengajaran dibandingkan pendidikan dalam arti luas.
Solusi Alternatif Pengganti Kebijakan 24 Jam Mengajar
Kebijakan beban kerja bagi guru minimal 24 jam tidak akan banyak memberikan sumbangan yang signifikan bagi peningkatan kualitas mutu pembelajaran tetapi justru akan menambah ruwet penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kebijakan 24 jam mengajar ini juga kontraproduktif dengan kebijakan sertifikasi guru yang bertujuan memperbaiki kualitas guru dalam proses pembelajaran. Jika kualitas yang dibidik maka yang harus dijadikan ukuran bukanlah kuantitas tetapi kualitas. Disamping itu kebijakan ini hanya menitikberatkan pada satu aspek kompetensi dan mengesampingkan tiga kompetensi yang lain yaitu kompetensi pedagogik semata.
Walaupun banyak menimbulkan prokontra dalam masyarakat namun pemerintah tetap mempertahankan kebijakan ini. Beberapa solusi yang pernah ditawarkan antara lain melakukan pemetaan dan pemeretaan guru sehingga tidak ada lagi sekolah yang kelebihan atau kekurangan guru, bahkan sempat ada wacana pengiriman guru-guru yang kekurangan jam ke desa-desa atau daerah terpencil. Bahkan menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Prof. Wahyudin Zarkasyi menuturkan, jika melihat jumlah guru saat ini sebetulnya cukup memadai. Hanya, mayoritas masih menumpuk di wilayah perkotaan. “Sebetulnya saya sangat setuju kalau ada upaya seperti itu, sebab dulu saya juga sempat mengusulkan hal tersebut agar terjadi pemerataan guru di semua daerah,” ujarnya.
Beban kerja minimal 24 jam yang menjadi prasyarat cairnya tunjangan profesi merupakan kebijakan yang tidak tepat. Jika pemerintah bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteran guru maka yang menjadi prasyarat bukan beban kerja tetapi kinerja yang dilakukan oleh guru dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran misalnya hasil kinerja guru dalam membuat media pembelajaran, menciptakan metode pembelajaran, atau kemampuan guru dalam mengembangkan evaluasi pembelajaran yang tepat. Dengan demikian yang menjadi ukuran adalah kinerja yang menunjukkan perkembangan kualitas guru dalam pembelajaran.
Oleh karena itu penulis mengusulkan agar syarat tunjangan profesi guru bukan beban kerja 24 jam mengajar tetapi kualitas kinerja seorang guru. Dengan demikian tujuan pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan dapat tercapai.
Pada bagian penutup ini penulis akan menyimpulkan isi makalah di atas sebagai berikut:
Kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakan dalam kurun waktu tertentu. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, instruksi presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan sebagainya. Sedangkan analisis kebijakan pendidikan menurut Penelaahan Sektor Pendidikan (PSP) adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis.
Terkait kebijakan 24 jam mengajar ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bebab kerja guru yaitu UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP nomor 74 tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas nomor 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.
Sertifikasi guru memiliki hubungan erat dengan beban kerja 24 jam karena beban kerja 24 jam menjadi salah satu syarat seorang guru professional mendapatkan tunjungan profesi bahkan bisa dikatakan bahwa beban kerja 24 jam mengajar menjadi salah satu cirri khas guru professional. Sekalipun telah lulus sertifikasi dan mendapatkan sertifikat pendidik professional namun jika ia belum memenuhi beban kerja 24 jam maka mereka tidak akan mendapatkan haknya sebagai guru professional.
Implementasi kebijakan 24 jam mengajar di lapangan ada beberapa kendala yang dihadapi yaitu a) banyak sekolah yang kelebihan guru, b) keterbatasan jumlah siswa sehingga rombel menjadi kecil, dan c) beberapa mata pelajaran memiliki jumlah jam yang terbatas.
Implikasi kebijakan 24 jam mengajar terhadap guru PAI ini adalah a) banyak guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja 24 jam karena keterbatasan jumlah jam, b) beban kerja 24 jam mengajar justru mereduksi peran guru PAI sebagai pendidik karena guru lebih disibukkan dengan tugas pengajaran
Solusi alternatif pengganti kebijakan 24 jam mengajar adalah kebijakan yang menitikberatkan kualitas pembelajaran bukan kuantitas misalnya kemampuan guru dalam membuat media, metode, pengembangan evaluasi atau penelitian tindakan kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1990 cet.1
Imron, Ali Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia : Proses, Produk, dan Masa Depannya Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Kunandar, Guru Profesional : Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
Muslich, Masnur, Sertifikasi Guru menuju Profesionalisme Pendidik, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
PP nomor 74 tahun 2008 tentang Guru
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Permenag Tahun 2008 tentang Standar Isi PAI dan Bahasa Arab di Madrasah
Permendiknas nomor 39 tahun 2009 tentang Beban Kerja Guru dan Pengawas
Rohman, Arif dan Teguh Wiyono, Education Policy in Decentralizatuin Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Salim, Peter dan Yeny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta : Modern English Press, 1991
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Beorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008, cet.ke 5
Sarimaya, Farida, Sertifikasi Guru : Apa, Mengapa, dan Bagaimana, Bandung : CV. Yrama Widya,2008
Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik (Edisi Revisi), Bandung: Alfabeta, 2008, cet.ke 4
Sujana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009
Suroyo, Agus,Implikasi Kebijakan 24 Jam Mengajar Terhadap Optimalasi Peran Guru dalam Proses Pembelajaran di MAN Wonosari, (skripsi) Yogyakarta: Fak Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunankalijaga, 2010
Suryadi, Ace dan H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan :Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993
Suara Merdeka.com. Indonesia Kelebihan Guru (berita 7 Maret 2011) dalam http://suaramerdeka.com diakses 1 April 2011
UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Dari Internet
http://www.jambi-independent.co.id diakses 9 April 2011
http://bataviase.co.id diakses 9 April 2011
http://nasional.kompas.com diakses 9 April 2011
http://www.psb-psma.org diakses 9 April 2011

"Motivasi Guru dalam mendidik dan mengajar mesti jauh melebihi motivasi peserta didik dalam belajar" Oleh : Pispian Rahman, S,Sn

       


 Menumbuhkan motivasi belajar dalam diri dan pemikiran peserta didik menjadi berimplikasi pada tindakan kongkrit bukanlah perkara mudah dalam kegiatan belajar sekolah kita, banyak faktor yang dapat mempengaruhi motivasi diri peserta didik, apakah semakin meningkat atau bahkan justru semakin surut dan memburuk dapat saja datang dari dalam diri maupun di luar dirinya.  keinginan untuk memberikan motivasi bagi peserta didik agar menjadi pribadi yang punya karakter, disiplin, tanggung jawab, maupun semngat kerja dan belajar yang tinggi dapat dikategorikan sebagai langkah atau upaya memotivasi dari luar diri (eksternal) peserta didik. Semua tentu sepakat bahwa faktor eksternal tersebut secara umum adalah lingkungan dimana peserta didik itu belajar (sekolah), serta lingkungan di mana peserta didik itu tinggal dan bersosialisasi (keluarga dan masyrakat). Meski semua dari lingkungan tersebut memiliki keterkaitan harusnya pembahasan dapat terangkum dalam satu kesatuan dengan kompleksitasnya, namun bagi seorang Pendidik tentu lebih banyak difokuskan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi motivasi belajar peserta didik, dengan menjadikan berbagai fenomena lingkungan keluarga dan sosial menjadi bahan atau sumber pertimbangan pula dalam menentukan berbagai strategi, metode dan teknis  yang berujung berupa aturan hukum atau tata tertib yang kan di terapkan dalam lingkungan sekolah kemudian bisa menjadi seolah sebagai sebuah rekayasa lingkungan belajar yang ideal bagi peserta didik yang tak bisa di pungkiri pula dapat bertolak belakang dengan nilai nilai yang mereka temui dalam lingkungan keluarga dan sosial keseharian mereka. Terlepas dari diskusi tentang bagaimana metode dan teknis pelaksanaan dalam menciptakan apa yang menjadi cita-cita mulia di atas dimana akan menyita waktu dan mengundang perdebatan yang panjang pula untuk memformulasikan dan dilaksanakan bersama.  

        Sebelum lebih jauh pada tataran bagaimana memotivasi kemauan belajar peserta didik maka terlebih dahulu tidak ada salahnya menelusuri sejauh mana Motivasi dalam diri guru/pendidik (internal) itu sendiri berkeinginan kuat, semangat yang tinggi  dalam mewujudkan tindakan tersebut bagi peserta didik agar berimplikasi terhadap kemajuan dunia pendidikan, tentunya patut mengacu pada batasan minimum parameter yang terukur pula, artinya bagaimana mungkin kita seorang guru/pendidik mampu memberikan dorongan keinginan belajar tinggi (bersifat eksternal) yang sedemikian buruk kepada peserta didik jika mengalahkan motivasi internal diri guru/pendidik untuk memperbaiki atau mendidik para peserta didik jauh lebih buruk, ini justru akan mendatangkan rasa malas, atau pasrah menyerah dengan kondisi objektif peserta didik yang ada, lalu nasib masa depan pendidikan kita akan semakin suram, sehingga sebaik apapun formulasi kurikulum nasional dan regulasi-regulasi yang menyangkut pendidikan dapat dipastikan tidak akan berpengaruh banyak terhadap kemajuan dunia pendidikan itu sendiri, belum lagi menyangkut hal-hal yang bersifat motivasi eksternal yang diharapkan bisa memicu motivasi guru seperti halnya, tinggkat kesejahteraan guru, kenyamanan kerja, maupun reward atau jenjang karir yang jauh dari harapan, sehingga semakin memperburuk motivasi dan keinginan guru dalam melaksanakan secara optimal/bersungguh-sungguh dengan apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi seorang guru.    
           
           Lalu jika kita sebagai seorang guru/pendidik merasakan betul apa yang di ulas diatas, maka kita harus menjawabnya apakah kita akan acuh dengan fakta dan fenomena ini, atau akan dijalan dengan setengah hati, atau justru kita segera berbenah dan menyadari bahwa Guru juga perlu memotivasi semangat mengajar dan mendidik secara internal dengan melaksanakan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang membawa kita untuk terus belajar sepanjang hayat (life long learning),membaca, menulis, meneliti, sehingga tertanam kefahaman kognitif yang akan bermuara pada perubahan tingkah laku (behavioristik) sebagai guru/pendidik dengan motivasi yang tinggi pula. Di sisi lain secara terorganisir para guru tentu harus bersatu padu dalam mendorong pemerintah untuk memperbaiki segala keburukan sistem pelayanan adminitratif guru, tingkat  kesejahteraan baik honorer, kontrak, maupun pns, mekanisme jenjang karir yang proporsional, dan lain sebagainya, yang berkaitan dan berpengaruh sebagai faktor motivasi eksternal bagi seorang guru/pendidik dalam menjalankan tugas mulianya.         Ditulis Teluk Kuantan senin, 11 januari 2016